Rabu, 22 April 2020

Biografi Pengarang Kitab Safinatun Najah (Syeikh Al-‘Alim Al-Fadlil Salim bin Sumair Al-Hadhromi)


Kitab Safinatun Najah karya Syeikh Salim bin Abdullah bin Sa'ad bin Aabdullah bin Sumair Al-Hadhromi

بسم الله الرحمن الرحيم

Syeikh Al-‘Alim Al-Fadlil Salim bin Sumair Al-Hadhromi adalah penyusun dari kitab Safinatun Najah.
Nama lengkapnya Al-‘Allamah Asy-Syeih Salim bin Abdullah bin Sa’ad bin Abdullah bin Sumair Al-Hadhromi Asy-Syafi’i. Beliau lahir di desa Dziasbuh, sebuah wilayah yang berada dalam lembah Hadramaut, Yaman dan di bawah kekuasaan Kerajaan Al-Katsiri (781-1387 H/1379-1967 M). Beliau adalah seorang ulama yang terkemuka dan ahli di bidang fiqih dan tasawuf. Beliau mengikuti madzhabnya Imam Syafi’i.
Peta Asia Barat Daya
Syeikh Salim terlahir dari keturunan ulama’ yang sangat disegani di masyarakat. Ayahnya, yaitu Syekh Abdullah bin Sa’ad bin Abdulloh bin Sumair, merupakan ulama’ yang sangat disegani oleh masyarakat di sekitarnya Syeih Salim memulai pendidikan dalam bidang agama dengan belajar Al-Qur’an di bawah pengawasan ayahnya langsung maka tak heran jika Syeih Salim mampu menguasai Al-Qur’an di usia belia. Beliau pun dipercaya menjadi pengajar Al-Qur’an hingga diberi gelar “Mu’allim”, gelar kehormatan dari wilayah Hadhromaut untuk seseorang yang tekun mengajarkan Al-Qur’an. Menurut pengamatan Sayyid Umar bin Hamid Al-Jaylani HafidzahuLlah, gelar Mu’allim ini terinspirasi dari sebuah hadis riwayat Sahabat ‘Utsman r.a. :

“Sebaik-baiknya kalian adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya”. HR. Al-Bukhari, no. 4639

حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ أَخْبَرَنِي عَلْقَمَةُ بْنُ مَرْثَدٍ سَمِعْتُ سَعْدَ بْنَ عُبَيْدَةَ عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ عَنْ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ قَالَ وَأَقْرَأَ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ فِي إِمْرَةِ عُثْمَانَ حَتَّى كَانَ الْحَجَّاجُ قَالَ وَذَاكَ الَّذِي أَقْعَدَنِي مَقْعَدِي هَذَا

Telah menceritakan kepada kami Hajjaj bin Minhal, telah menceritakan kepada kami Syu'bah ia berkata, telah mengabarkan kepadaku 'Alqamah bin Martsad aku mendengar Sa'd bin Ubaidah dari Abu Abdurrahman dari Abu Abdurrahman As Sulami dari Utsman RadliaLlahu 'anhu, dari Nabi ShallaLlahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Orang yang paling baik di antara kalian adalah seorang yang belajar Al Qur`an dan mengajarkannya." Abu Abdirrahman membacakan (Al Qur`an) pada masa Utsman hingga Hajjaj pun berkata, "Dan hal itulah yang menjadikanku duduk di tempat dudukku ini."

Syeih Salim dikenal santun, serta selalu berdzikir kepada Allah dan juga istiqomah memperbanyak membaca Al-Qur’an. Syeih Al-Hadrawi Al-Makki mengatakan bahwa Syeih Salim pernah mengkhatamkan Al-Qur’an ketika beliau sedang melaksanakan ibadah thowaf di Ka’bah.

Meski telah menjadi guru ngaji, semangat belajar Syeih Salim tidak surut. Kepada Sang ayah dan beberapa ulama’ besar Hadhromaut abad 13 H, beliau menimba ilmu Syari’at. Beliau juga mempelajari bidang­-bidang ilmu lainnya seperti halnya ilmu bahasa arab, ilmu fiqih, ilmu ushul, ilmu tafsir, ilmu tasawuf, dan ilmu taktik militer Islam. Berkat kesungguhan, kecerdasan dan ketekunan beliau, Syeh Salim pun mendapatkan kepercayaan untuk ikut mengajarkan berbagai ilmu bersama para gurunya. Dalam waktu singkat, nama beliau dapat terkenal hingga mendapat pujian yang membanggakan dari kalangan guru beliau, diantaranya Syeikh Al-‘Allamah Abdullah bin Ahmad Basudan (1178-1266H).

Tidak hanya prestasi intelektual saja, Syeikh Salim juga dikenal sangat ikhlas dan penyabar, seorang qodhi yang adil dan zuhud kepada dunia, bahkan beliau juga seorang politikus dan pengamat militer negara­-negara Islam. Beliau pernah diutus Kerajaan Katsiri ke India untuk mencari senjata perang tercanggih pada masa itu. Hal ini menunjukkan bahwa pada zaman beliau kondisi politik kerajaan sedang tidak stabil dan diliputi kemelut peperangan serta perebutan kekuasaan. Atas mandat kaisar Katsiri tersebut Syeikh Salim memulai ekspedisi pengembaraan pertamanya. Setelah mengarungi samudera dan melacak berbagai peralatan perang di wilayah India dan sekitarnya, Syeikh Salim menemukan peralatan militer tercanggih di Singapura. Beliau segera membeli dan mengirim peralatan tersebut ke Hadhromaut.

Peta Asia
Pekerjaan beliau ini dipandang bagus maka pihak kerajaan kemudian mengangkat beliau sebagai staf ahli militer. Dalam menjalankan tugas, Syeikh Salim tidak terpengaruh dengan cara-cara dzolim yang sering dilaksanakan para pejabat birokrasi di sekitarnya. Beliau justru banyak memberikan kritik dan saran kepada mereka.

Beberapa tahun kemudian beliau diangkat menjadi penasehat khusus Sultan Abdullah bin Muhsin. Pada awalnya, sultan sangat patuh dan tunduk dengan segala arahan dan nasehat beliau. Namun, beberapa tahun kemudian Sultan tidak lagi mengikuti nasehat beliau, bahkan cenderung menganggap remeh. Kondisi semakin memburuk ketika tak ada lagi yang mampu mendamaikan keduanya. Hubungan keduanya menjadi retak, ditandai dengan adanya keputusan Syeikh Salim untuk meninggalkan Yaman. Beliau meninggalkan Yaman dalam keadaan kerajaan Al-Katsiri dan hijrah menuju India. Tidak ada sumber pasti yang menyebutkan berapa lama Syeikh Salim mukim di India. Beberapa waktu berikutnya beliau melanjutkan hijrah ke Indonesia, tepatnya di Batavia atau Jakarta.

Di Indonesia, Syeikh Samir pun tetap menjadi ulama’ terpandang. Banyak orang yang berduyun-duyun menimba ilmu atau meminta berkah do’a dari beliau. Oleh karena itu, Syeikh Sumair kemudian mendirikan majlis ilmu dan majlis dakwah untuk menyebarkan ajaran agama Islam.

Syeikh Sumair dikenal sebagai seseorang yang berpribadi sangat tegas dalam mengungkapkan kebenaran. Beliau sangat tidak suka apabila mengetahui ada ulama’ yang mendekat kepada para penguasa negeri ini. Martin van Bruinessan memberikan pendapatnya tentang Syeikh Salim. Dalam tulisannya dia menceritakan tentang perbedaan pandangan antara dua ulama’ besar, yaitu Sayyid Usman bin Yahya dengan Syeikh Salim. Syeikh Salim kurang sependapat dengan tindakan loyal Sayyid Usman bin Yahya yang pada saat itu menjabat sebagai mufti Batavia kepada pemerintah Belanda dan berusaha mengambil hati para pejabat guna menjembatani jurang pemisah antara para ‘Alawiyyin (habaib) dengan pemerintah Belanda. Sayyid Usman bin Yahya memberikan fatwa seolah bertujuan mendukung program dan rencana mereka. Hal ini menyebabkan perseteruan yang panjang antara Syeikh Salim dengan Sayyid Usman bin Yahya yang dianggap beliau tidak berjuang mempertahankan kebenaran. Setelah kedua belah pihak bertemu dan bertabayyun akhirnya Syeikh Salim dapat memahami maksud dan tujuan segala tindak-tanduk Sayyid Usman bin Yahya.

Syeikh Salim wafat di Jakarta pada abad ke-13 H tepatnya pada tahun 1271 H/1855 M. Namun makamnya belum jelas sampai saat ini, konon ada yang mengatakan makamnya berada di belakang masjid Al Makmur, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Lebih tepatnya, di Jalan KH. Mas Mansyur, RT 14/ RW 7 Kb. Kacang, Tanah Abang, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10240.

Karya-karya Syeih Salim di antaranya adalah kitab Safinatun Najah yang berisi tentang masalah (rukun Iman) aqidah dan masalah ibadah (rukun Islam), mulai masalah tata cara wudu, persiapan sebelum salat, maupun terkait rukun salat dan hal-hal yang membatalkannya. Walaupun kitab ini sangat ringkas, namun isinya sangat mendalam. Selain itu, beliau juga mengarang kitab Al-Fawaid Al-Jaliyyah yang berisi tentang kecaman sistem perbankan konvensional dalam kaca mata syari’at Islam.

Sumber :



Tidak ada komentar:

Posting Komentar